SERIBU MASJID TERAPUNG BANJARMASIN

Bismillahirrahmanirrahim

Kali ini saya memenuhi undangan rapat di Kota Banjarmasin. Setelah rapat dua hari yang sangat melelahkan pulang ke hotel untuk persiapan hari esok. Pagi menjelang, setelah sholat subuh, saya bersiap untuk menikmati Kota Banjarmasin yang juga dikenal dengan kota seribu sungai. Katanya belum ke Banjarmasin kalau belum ke pasar terapung Lok Baintan.

Sepanjang sungai Martapura ditemukan banyak sekali masjid atau langgar maka tidak berlebihan kalau disebut "Seribu Masjid Terapung"

Sungai Martapura dengan deretan perumahan penduduk yang berbentuk rumah terapung

Dibantu oleh Taksi online, saya diantar ke kawasan Siring. Pada awalnya mikir juga karena ongkos perahu yang masyarakat setempat menyebut klotok menuju Lok Baintan lumayan mahal, yaitu Rp. 350 ribu. Alhamdulillan, dalam keraguan ketemu teman-teman lainnya yang juga ikut rapat kemarin juga mau kesana, lumayan……. patungan lima orang….

Kelotok sudah siap-siap di pinggir sungai, kami segera menaikinya. Mesin perahu menderu, haluan mulai membelah sungai Martapura dengan lebar 200 – 250 meter. Menyusuri sungai Martapura terlihat rumah-rumah tradisional penduduk yang sangat khas.

Setelah beberapa ratus meter perjalanan saya perhatikan banyak sekali langgar atau mushalla, hampir setiap seratus meter di kiri kanan sungai ada masjid atau langgar….. yah banyak sekali. Saya dapat memberi julukan ‘Seribu Masjid Terapung’. Di tempat lain orang boleh berbangga dengan masjid terapung, tapi masjid terapung yang sebenarnya ada disini…..

Sungai Martapura merupakan sungai yang membelah Kota Banjarmasin dan merupakan anak sungai dari sungai Barito. Budaya masyarakat setempat tidak bisa dipisahkan dari sungai. Permukiman penduduk tumbuh secara organik di sepanjang bantaran sungai. Rumah-rumah panggung banyak ditemui di sepanjang sungai, selain itu terdapat juga rumah terapung yang menyebar di beberapa spot di sepanjang tepian sungai.

Sungai dan jalan merupakan sirkulasi pada kawasan dimana keduanya saling berkaitan. Titian merupakan akses penghubung di antara kedua sirkulasi tersebut. Titian juga dibuat sedemikian rupa sehingga perahu tetap dapat lewat di bawahnya.

Masing-masing rumah atau beberapa rumah terdapat MCK terapung untuk kegiatan mandi, cuci dan kakus. Biasanya MCK ini menyatu dengan dermaga perahu. Pagi itu, warga terlihat mencuci pakaian, mencuci piring, bahkan menggosok gigi menggunakan air Sungai Martapura.

Kalau diperhatikan secara lebih teliti, bangunan-bangunan sepanjang sungai ini membentuk ``klaster-klaster. Kluster ini terbentuk karena adanya pertumbuhan penduduk dari satu keluarga. Padamulanya hanya ada satu keluarga, kemudian berkembang dan membangun rumah-rumah disebelahnya, Antara rumah dibubungi dengan titian.

Setiap kluster perumahan ini terdapat satu langgar atau mushalla. Karena itulah kita banyak menemukan langgar disepanjang perjalanan menutu pasar terapung Lok Baintan.

Kalau kita perhatikan lebih seksama, bangunan masjid atau langgar memiliki bangunan yang lebih menonjol dengan kondisi yang lebih baik dari perumahan di sekitarnya. Artinya perhatian masyarakat setempat terhadap rumah ibadah sangat baik. Masyarakat memelihara dan memakmurkannya secara bersama-sama.

Kita juga harus memberikan aspirasi yang tinggi pada masyarakat setempat. Dengan kondisi tanah serta dalam sungai dipastikan tanah kerasnya sangat dalam. Masyarakat menggunakan kayu gulam yang terkenal keras dan tahan air.

Pertanyaannya apakah pemancangan harus mencapai tanah keras? Kalau iya berapa dalamnya harus dipancang. Ternyata tidak perlu dalam karena tanahnya bersifat lempung memiliki daya daya rekat menahan kayu galam tidak melesak ke dalam tanah. Setelah itu pada bagian atas menggunakan kayu ulin yang juga kuat dan tahan air. Begitu juga dengan dinding dan lantai. Untuk atap terbuat dari sirap atau seng.

Kembali ke masjid, konstruksi masjid juga berbentuk panggung dengan menggunakan pondasi kayu ke dasar sungai. Sebagian besar dinding juga menggunakan kayu. Tapi terdapat juga yang menggunakan dinding semen tapi pondasi tetap dari kayu gulam.

Bentuk masjid berbentuk segi empat dengan ada mihrab kecil di bagian depannya. Untuk pintu masuk biasaya ada dua yaitu melewati titian yang ke arah lingkungannya dan terdapat juga pintu ke arah sungai yang dilengkapi dengan pangkalan perahu.

Bentuk atap berbentuk atap tenda atau berbentuk atap perisai dengan menggunakan kubah kecil sebagai penanda sebuah masjid atau mushalla. Disamping itu ada juga yang menggunakan Menara dengan kubah kecil yang digunakan juga untuk menyimpan pengeras suara.


Masjid Terapung Berdiri disetiap cluster kecil perumahan sebagai pertanda kuatnya peran masjid dalam kehidupan masyarakat    

Setiap Masjid memiliki pintu masuk ke arah perkampungan 
berupa titian kayu dan ke arah sungai berupa dermaga perahu

Bangunan Masjid Terapung berbentuk panggung segi empat dengan 
mihrab kecil di bagian depannya

Konstruksi  Masjid Terapung menggunakan kayu galam yang 
ditancapkan ke dalam tanah lempung yang memeliki daya rekat 

Masjid Terapung Banjarmasin mempunyai diding dari
kayu atau tembok dan atap dari seng, sirap atau genteng

Masjid Terapung terdapat mihrab dan menara
penanda sebuah masjid dan meletakkan pengeras suara

Masjid Terapung dengan bangunan yang menonjol 
dari lingkungan sekitarnya karena kuatnya tanggungjawab warga


Terakhir, tidak lengkap rasanya kalau tidak mengulas tentang pasar terapung La Baintan. Setelah sekitar empatpuluh lima menit perahu mulai melambat. Puluhan perahu penuh sayuran, buah-buahan, nasi kuning, kue-kue khas Banjar, pedagang minuman bahkan baju mendekati perahu kami. Para pedagang menggunakan perahu yang kebanyakan ibu-ibu secara agresif langsung menjajakan dagangannya.


Suasana pasar terapung La Baintan


Ibu-ibu dengan perahu dan dagangannya

Ayo pak…. nasi kuning…. sarapan enak kata ibu yang sudah mendekat duluan dengan perahunya…. Dengan senang hati kami beli karena memang belum sarapan pagi..

Setalah kami beli nasi kuning tersebut perahu ibu itu mundur dan digantikan oleh perahu ibu lainnya yang menawarkan aneka gorengan. Dengan sedikit ‘rayuan’ khas pedagang kami juga beli gorengan berikut dengan teh manis.
Dari sebelahnya kiri perahu terdengan juga suara nyaring seorang dengan logat banjar yang khas …. "Ayo pak… ini jeruk….manis pak. Saya kupasin ya," seru salah satu ibu penjual buah-buahan sembari tangannya tetap mendayung….

Transaksi di atas perahu

Semua yang pedagang merupakan ibu-ibu. Sambil mendayung perahu mereka tidak henti-hentinya menawarkan jualannya. Walaupun mereka terlihat agresih mengejar kalau ada wisatawan atau calon pembeli tapi kelihatan tidak terjadi tabrakan antar perahu. Kalau yang satu sudah berhasil digantikan oleh perahu yang lainnya….. disitulah letak kekompakan dan saling pengertian diantara mereka.

Inilah daya tarik pasar terapung di Lok Baintan. Sambil diombang-ambing gelombang Sungai Martapura, penjual dan pembeli saling berinteraksi.


Sarapan nasi kuning di atas Kelotok

Alhamdulilllah….
Pagi ini saya dapat menyaksikan keindahan dan merenungkannya bagaimana masyarakat yang menyatu dengan alam ciptaan Allah SWT. Bagaimana masyarakat membangun sarana peribadatan di lingkungan mereka disela keterbatasan yang ada….

Saya teringat satu ayat diulang-ulang dalam Al Quran yaitu:
Fabiayyi aalaa rabbikumaa tukadzdzibaan?
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Subhanallah Walhamdulillah Walailahaillallah Wallahuakbar
astaghfirullah hal adzim
Maha suci bagi Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada satu Tuhan pun yang disembah kecuali Allah, dan Allah maha besar.Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung

Banjarmasin, 25 Agustus 2017

Lihat tulisan sebelumnya:
1. Masjid Jabal Arafah Batam

Komentar

  1. Alhamdulilllah.... tulisannya menambah pengetahuan dan menginspirasi

    BalasHapus

Posting Komentar